de' BONJOL's

GW' memang bukan kalian,Tapi GW' tak malu... Karena GW' tak pernah menjegal, mencubit, menggigit, mencabik, menusuk, bahkan menginjek orang..."PISS LUV UNITY 'en RESPECT"

Sunday, January 14, 2007

SAYAP SAYAP SENYAP

Kecantikan seorang gadis seringkali membuatku kagum sekaligus bingung. Aku kagum pada kecantikannya, melebihi kekagumanku pada alam semesta alami bahkan alam buatan seniman dunia manapun. Tapi aku bingung, bagaimana Tuhan merancang, menyusun bagian-bagiannya, mengukir, menjelmakan dan memoles kecantikannya menjadi sedemikian jelita. Sebuah adikarya yang tiada banding-tiada tanding!
Kecantikan seorang gadis Manado bernama Angelina alias Angel atau Enjel, yang belum bertahun-tahun kukenal itu pun melengkapi kekagumanku sekaligus kebingunganku. Dia memang cantik jelita. Kulitnya cerah, yang bila berjalan bagai mentari berkelana di jalanan pelosok bumi. Alisnya hanya seluas sisa gerhana bulan. Sinar matanya selalu menjinakkan keresahan atau kemarahan setiap orang yang bertatapan langsung dengannya. Bibir indahnya tersapu merah muda tanpa polesan buatan manusia, bahkan lebih mewah daripada hadiah-hadiah raja. Hidungnya yang ramping dan ramah, segera menyapa terlebih dulu pada siapa saja. Pipinya halus melebihi sutera termahal, membuat siapapun tidak tega menyentuhnya. Dagunya cembung mulus, menggantungkan pesona melelapkan. Rambutnya bak sutera hitam alami yang indah menjalari punggungnya. Jemarinya lentik namun gerakannya tak pernah genit.
Kecantikan juga selalu membingungkan aku menggambarkan ataupun menjabarkannya. Aku pasti akan kewalahan menguraikannya menjadi untaian kata mutiara dalam waktu sekejap. Barangkali saja aku hanya bicara tanpa makna akibat mabuk kepayang tak terbilang laksana orang limbung dalam buaian bius alkohol atau napza.
Selain itu, nada suaranya pun merdu. Bening, sebening kata cinta yang kerap kali menggerayangi telingaku. Dia selalu menjaganya dari aksara nista atau perilaku unggas yang mengocehi apa saja. Gerakan langkahnya begitu tenang, setenang samudera luas yang menyenangkan para nelayan. Suara ketukan langkahnya seakan mengatakan bahwa jangan tergesa-gesa atau juga jangan berlambat-lambat menjemput setiap harapan yang telah direnda di atas peraduan.
Gadis itu memang cantik jelita bahkan setara dengan ratu-ratu kecantikan dunia. Bukan aku saja yang tiba-tiba menjadi semacam pecandu manekin hidup di depannya. Kawan-kawanku pun terperangah, terpesona, tersihir lalu tergila-gila untuk memuja kecantikan gadis itu. Setiap dia melewati kumpulan orang, setiap pasang mata akan memandangnya seolah hendak menempelkannya di pelupuk mata mereka.
***
Kukenal Angel tanpa pernah aku mengerti, seperti ketika Adam tak pernah sanggup membuat rencana pertemuannya dengan Hawa atau juga merekayasa sosok cantiknya. Tiba-tiba dia ada, lengkap dengan keindahan dari puncak ciptaan Tuhan itu. Dia ada ketika impian-impian maha indah tak sanggup meraihnya. Tempat pertemuan itu pun kurasa sudah sama dengan Taman Firdaus. Tapi selain kepada Angel, aku tidak ingin mengalihkan selera jiwaku kepada kegemerlap alam sekitarku, agar hantu-hantu busuk tidak terbahak-bahak di siang hari laksana lelucon konyol pada tragedi buah khuldi.
Angel atau Enjel, begitu namanya biasa disebut. Nama yang tidak sembarangan. Bermakna: malaikat. Tidak sedikit orang yang memberi nama anaknya dengan nama-nama yang hebat begitu, misalnya Gabriel dan Mikhael yang merupakan nama malaikat Tuhan. Bedanya, Gabriel dan Mikhael dipandang sebagai nama maskulin, hanya pantas untuk kaum laki-laki. Sedangkan Angel untuk perempuan. Barangkali begitu.
Angel. Mungkin orang hendak menyebut dirinya setaraf bidadari, lantaran namanya bersatu dengan kecantikannya. Tetapi arti sejati bidadari tidak pernah diajarkan oleh orangtuaku dan guru agamaku. Yang jelas bukan “angel” dalam bahasa Jawa yang artinya “susah”, sebab kehadiran si Enjel senantiasa memberi masukan bahwa setiap kesusahan tidaklah melebihi kesanggupanku bertahan, dan selanjutnya harus kuubah menjadi kesenangan atas hidup yang sudah susah ini.
***
Pertemuan dengannya adalah anugerah luarbiasa dalam hidupku. Juga kala kami berbicara. Setiap bersapaan dengannya, jiwaku sontak riang tak terkekang. Tapi seketika lidahku lumpuh, mulutku beku. Keterpukauan menghisap perbendaharaan kata-kataku.
“Curahkanlah keindahan Bunakenmu ke kolong-kolong hatiku yang dahulu melarat akibat dikuras manusia lantas ditinggal pergi begitu saja seraya memamerkan segala kepongahan mereka. Gantikan kemuraman air kolong hatiku dengan biru syahdu Bunakenmu itu. Sertakan pula terumbu karangmu yang maha indah itu untuk mengisi kolong-kolong hatiku yang kemarin cuma dipenuhi oleh rongsokan besi-besi karat kapal keruk, agar dapat menjadikannya indah,” gemuruh gelombang batinku tanpa ada getar di sekujur lidahku.
Di bawah rindangnya pohon rindu kami sering bersua. Dia berada di hadapanku dengan pesona tak terkata. Senyumnya tidak pernah terkikis oleh bengisnya krisis kehidupan yang silih berganti menyambanginya. Kecerahan air mukanya laksana matahari abadi yang terus bercahaya menghabisi kekelaman malam sekalipun. Kecemasan tak pernah terselip di sudut matanya. Irama tubuhnya tetap mengalun tenang. Dirinya tak beda dengan jelmaan berita-berita gembira yang selalu baru setiap hari yang bersegera menggiling-giling berita ketakutan yang disebarkan media massa.
Aku senantiasa menyukai dan merindukan perjumpaan dengannya. Aku merasa segala kegelisahan, kepenatan, kebingungan, kekalutan atau kebosananku pada kenyataan hidup ini sekejap lenyap seperti asap diterjang senyum ranumnya. Semburan nafasnya yang berirama teratur sepoi-sepoi mendinginkan kepenatan hari-hariku setelah dilanda penatnya tugas harian. Kesejukannya menghembuskan debu-debu kejengkelanku pada ketidakadilan atau kesewenang-wenangan hidup. Kibasan udara kala dia bergerak seolah memberiku kesempatan untuk dapat menambah sejengkal asa terhadap kilatan-kilatan waktu.
Melihat dirinya dan mendengar suaranya, sudah cukup mengenyangkan perutku selama ribuan purnama. Tidak seperti ketika aku sedang menikmati santapan di meja makan dengan diiringi bentakan kasar bapak-bapak terhadap anak-anaknya yang melakukan kesalahan, gerutuan ibu-ibu akibat gempuran harga barang, bisik-bisik para ibu yang iri hati, dan umpatan atau hujatan orang-orang muda terhadap apa saja yang menjengkelkannya. Tidak seperti ketika aku makan di rumah makan mewah dengan diiringi tawa kekenyangan para perampok duit negara, tawa kemenangan para penjahat kelas kakap, canda ria perselingkuhan orang-orang berkeluarga, senda gurau orang kaya di atas tulang-tulang iga fakir miskin, atau juga bisik-bisik persengkongkolan kalangan atas.
Melihat dirinya dan mendengar suaranya, sudah lebih dari segala keindahan alam raya semesta, segala kemewahan dan kemegahan dunia hiburan, meski sekian tingkat lebih rendah dibanding Surga. Ya, lebih indah dan mewah daripada istana kerajaan para penjahat berdasi-berkrah putih. Ya, lebih indah dan mewah daripada istana kerajaan para pengusaha maksiat, judi dan minuman keras. Ya, lebih indah dan mewah daripada istana orang kaya yang terbangun di atas kerangka rakyat jelata. Bahkan lebih megah daripada sebuah bangunan ibadah yang dibangun oleh semangat keangkuhan, dari hasil kejahatan, dan berisi orang-orang bertubuh bersih tapi berhati busuk bestari.
***
Bayang-bayang pepohonan mengusap-usap kemulusan kulit telanjang lengannya tatkala aku hanya bisa mematung di depan Angel. Segaris senyumnya sudah menggelorakan sukacita dalam jiwaku. Ada kemilau asa menanti di gerbangnya. Selalu begitu sewaktu bertemu.
“Kenapa Kakak tidak bersuara sedikitpun?”
“Aku tidak lihai menarikan kata,” sahutku sembari terus memandang keajaiban alam aduhai di depanku ini. Keindahan itu telah mengikat erat lidahku.
“Kakak terlalu berlebihan,” ujarnya, karena beberapa kali dia memergoki keluguanku mengaguminya.
Kakak memang sedang mabuk kelebihan-kelebihanmu, Angel, bisik hatiku.
Aku hanya berani membisikku hatiku sendiri. Aku malu bila lidah dan mulutku meluncurkan kata-kata itu. Kendati aku memandangnya tanpa kacamata birahi, aku tetap malu jika dia tahu diriku salah satu pemujanya, karena dia pasti akan menegurku bahwa memuja manusia adalah perbuatan menduakan Tuhan. Dia tidak sudi dijadikan berhala baru sebagaimana pemujaan terhadap benda-benda lainnya merupakan perbuatan syirik.
“Kecantikan seorang ratu,” tutur Angel sembari anggun menatap kekagumanku padanya, “seringkali lebih dipuja daripada sang ratu itu sendiri. Sehingga sewaktu kecantikan itu berangsur redup, maka sang ratu tak ubahnya sebuah batu yang teronggok dalam legenda kemegahan candi bersama reruntuhan tahtanya. Laksana bolam lampu yang kita puja sinarnya, lantas kemudian kita campakkan ketika sinarnya meredup bahkan mati.”
Aku terdiam. Aku hanya bisa memandangi geliat bibir ranumnya.
“Kecantikan akan digusur umur. Semakin bertambah umur, kecantikan ragawi semakin luntur dan akan gugur pada musimnya. Kecantikan akan ditenggelamkan alam, diterkam kekelaman makam. Ia menjadi santapan sedap bagi kerakusan kuburan. Kecantikan akan ditinggalkan oleh kefanaan dan hanya menjadi kemuliaan masa silam yang membelenggu perjalanan akal sehat menuju masa depan tak berujung.”
Amboi, perkataannya membuat diriku bertambah tenggelam dalam kekagumanku. Kerendahan hatinya terungkap lewat rangkaian kalimat yang kuanggap dahsyat itu. Dia tidak nampak merendah, apalagi merendah untuk meninggikan harga diri.
Dia tidak sedang memuja kecantikannya sendiri, melainkan membeberkan hakekat kecantikannya. Berbeda dengan banyak gadis yang sangat bernafsu mengumbar kecantikan mereka, bernafsu menjual kecantikan diri, gila-gilaan menjadikan diri sendiri sebagai ketelanjangan alam yang sepantasnya menjadi hadiah sah abadi bagi sang suami.
Dia tidak memancing decak kagum siapapun pada dirinya. Berbeda dengan gadis-gadis yang berteriak-teriak kelaparan pujian dengan perut bagai papan untuk dinding rumah pengemis tua, muka bagai badut taman ria, busana bagai orang-orang kalah perang, lenggak-lenggok bagai bebek di jalanan becek serta desah suara senada pelacur menor di gang-gang kotor.
Bertemu dan berhadapan dengan Angel, diriku mirip seorang yang sedang tersihir oleh sebuah adikarya seorang mahaseniman. Kecantikan yang dahsyat. Pertemuan pun tak ubahnya sebuah pameran termegah yang pernah ada di dunia ini. Tak bosan-bosannya aku menikmati pertemuan itu, menikmati kecantikan hidup itu, dan selalu ketagihan untuk bertemu besok sampai selamanya bersama. Aku betul-betul terpukau.
***
Astaga, aku jatuh cinta pada Angel! Cinta? Cinta yang pernah mati? Aku menyadari itu ketika suatu hari aku merasa bagai rajawali berenang senang menikmati keindahan langit.
Cinta itu yang selanjutnya memberiku sepasang sayap di punggung manusia jiwaku. Sayap-sayap cinta yang menerbangkan diriku menuju keindahan samudera angkasa yang berbiru-ungu dan memandang bumi bagaikan sebuah surga tak terduga. Sayap-sayap cinta yang membuatku melayang-layang, serasa hendak menaklukkan kegetiran hidupku yang sebelumnya terasa begitu menakutkan.
Dengan sayap cinta itu, terasa dunia hanyalah bola kristal maha indah. Dengan sayap cinta, terasa ruang-ruang bumi hanya kotak-kotak semu tak berpagar. Dengan sayap cinta, selama berjumpa dengannya aku merasa penerbanganku berhasil menembus tembok-tembok kebimbangan.
Tak cuma sayap. Tapi ada pula candu. Sayap yang melayangkan aku pada impian tak berujung, sekaligus candu yang membuatku dungu dan membutakan mata jiwaku. Aku hanya melihat pada keindahan, melihat pada khayalan-khayalan, melihat fatamorgana, melihat panorama maya yang kuciptakan sendiri. Cinta itu telah memutuskan kendali-kendali tali jiwaku, selanjutnya menggiringku pada jalan-jalan berbatu tajam yang tidak kuhiraukan apakah itu menuju kehendakku ataukah justru menjerumuskan aku pada padang tandus yang sarat keliaran-keliaran, kelaparan dan kebrutalan jiwaku.
***
Surya tak selamanya melangkahi semedi bumi. Bulan tak selamanya mengangkangi tapa angkasa raya. Tiada pesta yang beracara sepanjang hidup. Aku tak kuasa mengingkari kenyataan. Sang bidadari pun punya azasi atas dirinya sendiri. Ya, beberapa hari berikutnya aku tidak menjumpai Angel di bilik cinta yang mewadahi jalinan kisah kami. Barangkali Angel mampu menangkap kecenderungan jiwaku terhadap dirinya dan pertemuan dengannya. Mungkin karena dia memang peka. Atau, karena aku terlalu polos membinar-binarkan mataku sewaktu bertatapan dengannya akibat ketagihan-ketagihanku pada candu cinta. Mungkin Angel telah melihat diriku melayang-layang di angkasa raya dengan sayap-sayap cintaku. Memang sejak cinta membelengguku, aku berubah jadi dungu.
Beberapa hari beranjak ke beberapa minggu. Beberapa minggu menjadi hitungan bulan. Dan akhirnya aku menjadi bulan-bulanan kegelisahan. Aku kehilangan dirinya, bahkan aku merasa kehilangan hidupku sendiri. Kedahsyatan cinta telah menjejalkan jibunan merana dalam jiwa sunyi.
Maka kucari dirinya. Melalui kawan-kawannya, kutanyakan dirinya. Di rumahnya, kucari dirinya. Termasuk dalam lamunanku sewaktu duduk di tempat kami pertama jumpa. Serta dalam mimpiku pun selalu kucari dirinya, kutanyakan pada orang-orang yang bermain-main di taman bunga tidurku. Kucari dan terus kucari. Jiwa sunyi memanggil tanpa bunyi. Lantas kukenakan kembali sayap-sayap cintaku. Aku melambung ke langit-langit. Lapis per lapis langit kuperiksa, adakah Angel bersemayam di sana ataukah sekadar pantulan keberadaannya di bumi yang telah menelannya.
Tak jua kutemukan, sampai suatu waktu kudapati cintaku tak lagi menghidangkan kebahagiaan melainkan kekuatiran-kekuatiran baru dalam wujud purbasangka. Sakitkah dia? Tapi tidak satupun kawannya memberi sebaris kabar. Sibukkah dia? Tapi pastilah sekelebat dapat kuendus hembusan keringat harumnya. Berlibur ke luar negerikah? Tapi pastilah dia memberitahuku. Lalu, apa?
Sekonyong-konyong pertanyaan miris menyerbu keheningan jiwaku. Jangan-jangan… Percikan api cemburu mulai menghasut hatiku dan merambat membakar kaki jiwaku sehingga lambat laun langkahku terasa panas, nyeri dan perih. Jangan-jangan…
Namun hati nuraniku berdiri tegap langsung menegurku. “Cinta itu tidak cemburu. Kecemburuan adalah iri hati yang menyatu dengan sisa-sisa keserakahanmu yang sangat menginginkan seutuhnya-sepenuhnya sesuai keinginan jiwamu yang egois, tetapi kamu tidak mendapatkannya seperti yang kamu inginkan. Jangan racuni cinta dengan cemburu,” begitu teguran kerasnya.
Aku sepakat. Maka serta-merta segera kututup rapat-rapat bahkan bila perlu kupatri mulut jiwa kiriku yang bertubi-tubi menghembuskan kecemburuan tadi. Tak ada gunanya pula kubiarkan cemburu merayu-rayuku lantas membelenggu akal sehatku. Tidak pantas aku cemburu. Toh Angel bukan siapa-siapa. Angel adalah manusia merdeka, jauh melebihi burung merpati yang tidak terkurung dalam sangkar emas bikinan kekanak-kanakan manusia. Tuhan bebas mendaratkan diri Angel pada dahan mana pun atau di sangkar siapa pun, sebagaimana Tuhan yang berwenang menempatkan Hawa pada Adam tanpa perlu persetujuan Hawa atau perundingan dengan Adam. Apalagi Angel seorang gadis yang cantik sekali, tentulah menarik hati para pria yang memuja kecantikan seperti aku ini. Namun selalu saja kehendak egoku berusaha membuat kerangkeng untuk mengurung Angel dan memaklumkan kepada dunia bahwa dia adalah milikku, bidadariku dan aku sajalah pemilik satu-satunya.
Beberapa purnama bergantian menunggui kesendirian malam-malamku. Mereka mengajakku melayang ke awan-awan untuk menikmati gemerlap kota-kota maya surgawi dengan sayap-sayap cintaku. Tapi beberapa kali ini terpaksa kutolak ajakan mereka karena aku merasa tak lagi punya daya untuk melambungkan khayalanku bersama mereka di samudera angkasa nan biru. Dengan mata mereka yang melotot begitu, kuyakin purnama mengerti suasana lengang dalam jiwaku. Tentulah purnama-purnama itu tahu bahwa aku sedang kehilangan sesuatu yang beberapa hari lalu menari-nari di atas permadani hatiku. Dunia, bagiku, muram melulu. Keindahan telah enyah. Kecantikan telah ternafikkan.
***
Celoteh burung prenjak mengajak fajar bangkit dari kemalu-maluannya. Itu pun urutan fajar kesekian puluh. Kalender usang menyisakan robekan demi robekan yang berdebu. Saat itu secarik kertas menggigil di meja kerjaku. Mungkin pembantuku yang meletakkannya di situ sewaktu aku tengah terkapar dalam nyenyak yang panjang semalam. Secarik kertas telah merontokkan tulang-tulangku, melenyapkan sayap-sayap cintaku, mirip “al-ajniha-al mutakassirah” yang pernah dialami oleh “sang Nabi” dari Beshari. Cintaku ambruk laksana daun runtuh di musim gugur.
“Ulang tahunku telah terlewati tanpa kuperoleh surat lamaran dari Kakak yang sejak semula kuharapkan sebagai hadiah terindah bagiku, justru kedatangan pria lain beserta lamarannya di hadapan orang tuaku yang telah rindu menimang cucu dan mengira bahwa Kakak sebatas sahabat sekaligus pengagum karya-karya seni dunia umumnya. Abang hanya mengagumi kecantikan, tak berminat lebih dari itu. Aku pernah berjanji bahwa aku akan taat pada Tuhan sebagaimana aku mengasihi-Nya. Aku tidak berhak memilih-milih menjadi tulang rusuk siapa, tetapi Tuhanlah yang berhak menempatkan aku pada rusuk pria yang datang melamarku. Siapapun pria itu, aku akan mencintainya sebagaimana aku mencintai Penciptanya, meski dia bukan Kakak yang dulu pernah kupilih. Mungkin dia memang yang terbaik bagiku, dan pasti Kakak diberi-Nya seseorang yang terbaik pula. Dariku, Angel.”
Aku tidak sempat menjerit pada langit sana untuk meminta keputusan ulang atau menentang apa yang telah digariskan-Nya. Juga tidak sempat mengumpat pada pria yang sewenang-wenang merampas bunga cantik cintaku. Sebab sekonyong-konyong hati nuraniku muncul lalu menampar kesadaranku seraya menasihatiku bahwa jodoh bukanlah akibat kesalahan siapa-siapa dan memang bukan suatu kesalahan sebagaimana Tuhan tidak pernah salah atau tidak sedikitpun keliru ketika menetapkan jodoh masing-masing orang.
Sayup-sayup kudengar alunan irama kulintang dan ketukan-ketukan langkahnya yang mantap meninggalkan kenanganku padanya, “Jangan tergesa-gesa atau juga jangan berlambat-lambat menjemput setiap harapan yang telah direnda di atas peraduan.” Bukankah isyarat itu selalu bergema pada setiap perjumpaan kami di waktu lalu? Seharusnya aku menyadari itu; menyadari bahwa kecantikan senantiasa menarik hati pria yang memujanya.

* di kutip dari sebuah cerpen dari AGUSTINUS WAHYONO *


*******

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home