de' BONJOL's

GW' memang bukan kalian,Tapi GW' tak malu... Karena GW' tak pernah menjegal, mencubit, menggigit, mencabik, menusuk, bahkan menginjek orang..."PISS LUV UNITY 'en RESPECT"

Sunday, January 14, 2007

CHRIS GARDNER, Dari Gelandangan Menjadi Miliuner


Lahir dan tumbuh dalam kemiskinan tidak membuat Chris Gardner mengeluh. Kemiskinan justru membuat lelaki kelahiran 9 Februari 1954 ini makin tangguh.Wall Street pun menjadikannya miliuner.
SEJAKpertengahan Desember lalu,pencinta film di dunia berduyun-duyun menyaksikan film berjudul The Pursuit of Happyness. Film yang dibintangi Will Smith itu tengah laris manis di pasaran. Meski tidak diwarnai aksi tembakmenembak, namun film berdurasi sekitar dua jam itu tetap menjadi tontonan yang disukai.Maklum,film yang diangkat dari perjalanan hidup Gardner ini sarat dengan tuntunan dan ajaran hidup.
”Saya senang sekali film ini digemari oleh jutaan penonton di dunia. Namun, saya akan jauh lebih senang jika jutaan orang, terutama mereka yang bernasib kurang beruntung, dapat mengambil pelajaran dari kisah hidup saya,” jelas Gardner saat ditanya tentang prospek film yang semakin melambungkan namanya itu. Kehebatan The Pursuit of Happyness, dalam bersaing dengan film Hollywood lain,bukan tanpa perjuangan.
Awalnya, Gardner, yang juga CEO Gardner Rich and Co ini acap menceritakan pengalaman hidupnya via wawancara televisi dan radio. Dari sini, masyarakat Amerika Serikat (AS) banyak yang terpesona. Yakin dapat memuaskan ”penggemarnya”, pada 23 Mei 2006 lalu,Gardner menulis buku memoarnya. Seperti yang diperkirakan, buku yang dicetak HarperCollins ini langsung jadi bestseller.
Gardner yakin, antusiasme warga AS itu adalah pertanda baik untuk kesuksesan selanjutnya. Bersama Columbia dan Sony Pictures, Gardner lantas memfilmkan perjalanan hidupnya, persis seperti yang tertulis di dalam buku. Perjalanan hidup Gardner memang lain daripada yang lain. Pada 1960-an, anak pertama dari empat bersaudara itu sudah kenyang dengan berbagai macam penderitaan hidup.
Secara kasat mata,Gardner sering dipaksa ayah tiri dan menyaksikan beragam aksi kekerasan dalam rumah tangga. Karena kecanduan minuman keras, sang ayah menjadi pemalas dan suka memukul. Tidak hanya ibu kandungnya yang sering dihajar, Gardner dan ketiga adik pun tak luput dari sasaran. Meski hidup dalam lingkungan keluarga tak ramah, namun Gardner tetap tabah.
Dia justru memahami bahwa alkohol, kebodohan, dan kemiskinan adalah sumber segala malapetaka di bumi. Dia berjanji dalam hati untuk tidak mendekati ketiga hal itu sampai kapan pun.Tak heran jika dalam perjalanannya, Gardner tak mau putus sekolah.Dia terus mengikuti pelajaran meski hati dan pikirannya sering tidak tenang. Masa kecil Gardner semakin suram saat sang ibu,Bettye Jean Triplett Gardner, harus berurusan dengan polisi setelah terlibat tindak kriminalitas. Tak tanggungtanggung, Bettye dipenjara empat tahun.
Meski sang ibu berbuat kesalahan, namun Gardner tak pernah membencinya. Dia bahkan menganggap ibunya sebagai wanita paling hebat di dunia. ”Ibulah yang membuat saya seperti sekarang ini. Saya belajar banyak darinya. Ada satu nasihat yang tidak akan pernah saya lupakan.Dia bilang, kalau kamu mau dan bersungguh- sungguh,maka suatu saat kamu akan berhasil dalam hidup ini,” kenang Gardner yang tahun lalu sukses mengantongi USD1 juta atau sekitar Rp9 triliun. Sejak ibunya ditahan, Gardner tinggal bersama pamannya. Sayang, tak lama kemudian sang paman meninggal dunia karena tenggelam di sungai.
Lulus SMA, Gardner mendaftarkan diri di angkatan laut. Berbekal otaknya yang cerdas, Gardner sukses meraih cita-cita. Di medan perang, Gardner menjadi asisten medis yang bertugas membantu proses operasi para korban perang. Dengan kemampuan ini, sepulang perang, Gardner langsung membuka klinik bedah. Sayang, penghasilan Gardner tak cukup untuk membiayai hidup. Dia lantas menjadi salesman alat-alat kedokteran.
Meski sudah berjuang keras, tetap saja Gardner gagal mendapatkan uang yang cukup. Penderitaan Gardner bertambah saat dia harus merawat anak semata wayang hasil hubungannya dengan seorang wanita yang dicintainya. Bersama putranya yang masih bayi, Gardner terpaksa menjalani hidup sebagai gelandangan. Dia berpindah dari satu tempat ke tempat lain.
Pernah dia dan anaknya tidur di garasi dan emperan toko. Kehidupan Gardner berubah saat dia berkenalan dengan seorang rohaniawan bernama Cecil Williams. Kepada Williams, Gardner belajar menjadi seorang broker (pialang) di lantai bursa. Kesuksesan Gardner terus menanjak seiring kemampuannya yang semakin luar biasa. Tidak hanya mampu keluar dari status gelandangan, pria kelahiran Milwaukee, Wisconsin, ini juga sukses membeli mobil impiannya,Ferrari warna merah. Tak tanggungtanggung, mobil yang dibeli Gardner tersebut adalah kepunyaan legenda basket AS,Michael Jordan.
Meski kini telah mandi uang, Gardner tak lupa asal-usulnya.Dia tetap bersahaja dan membantu mereka yang hidup kekurangan. Dia tak segan merogoh kocek bagi para gelandangan di negaranya. Keluhuran hatinya ini membuat Gardner dianugerahi berbagai macam penghargaan,di antaranya Father of the Year Award,The 25th Annual Humanitarian Award dan The 2006 Friends of Africa Award. (berbagai sumber/CR-22)
* di kutip dari koran sindo edisi 15 january 2007 *

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home